Friday, September 12, 2014

Cerita beasiswa serta doa

Kuliah lagi (dok. dari fotoblog milik pribadi) 
Baiklah.

"Rumah" ini sepertinya sudah lama tidak disambangi, bahkan oleh saya, si pemilik :) Jadi kali ini mau berbagi cerita tentang niat, determinasi dan doa seorang ibu.

Seperti yang sudah pernah saya jabarkan di tulisan Kisah Kembali ke Sekolah, saya mendapatkan beasiswa ke Belanda untuk program short course yang memang secara rutin diselenggarakan oleh pemerintah Belanda melalui beasiswa StuNed. Saya belajar soal Online Journalism di RNTC pada Mei dan Juni 2014. Tepat di Mei juga, saya dapat kabar kalau saya juga diterima beasiswa S2 di Denmark, tepatnya di Aarhus University dari universitas yang bersangkutan.

Senangnya luar biasa bisa mendapatkan dua buah beasiswa di tahun yang sama! Kok bisa? Ini jelas bukan perkara mudah, namun akan terasa lebih "mulus" jalannya jika memang didukung oleh niat yang tinggi.


Niat dan tekad ini memang sudah ada sejak pertengahan 2013. Sejak Juli-Agustus, saya giat untuk mencari beasiswa APAPUN yang sesuai dengan kriteria saya. Saya ikuti semua milis beasiswa yang ada; bookmark komputer penuh dengan berbagai jenis beasiswa dari banyak negara yang saya bagi dengan rapi. Beberapa portal beasiswa yang membantu: Scholarship for DevelopmentScholarship Portal EUBeasiswa Indo, hingga artikel online seperti Scholarship for Indonesian ini. Dari portal tersebut, saya kunjungi satu per satu pemberi beasiswa, baik dari pemerintah, universitas maupun privat. Saya bahkan membuat daftar secara terperinci universitas, penyedia beasiswa, login, persyaratan, link situs, dll di excel untuk memantau perkembangan aplikasi. Ketika saya cek, ada lebih dari 30 beasiswa yang saya temukan dan sesuai dengan kriteria.


Sekilas bookmark komputer
Masing-masing penyedia beasiswa jelas punya mekanisme dan persyaratan tersendiri, seperti: 
1. StuNed (Belanda) mengharuskan kita untuk diterima di universitas yang diinginkan, baru bisa mendaftar beasiswa. Untuk S2, saya juga ikuti beasiswa yang diberikan oleh universitas, seperti Ursula Glunk (Maastricht Uni) dan Groningen Uni. Untuk Groningen, cukup unik. saya pilih program Journalism dan untuk diterima saja, ada serangkaian tes yang mesti dilakukan. Setelah berhasil di tes dan diterima, saya tidak bisa mendaftar beasiswa,  namun harus pihak fakultaslah yang mencalonkan kandidat untuk mewakilkan fakultas sebagai penerima beasiswa. Alhamdulillah saya terpilih oleh fakultas (setelah wawancara via Skype), namun tidak terpilih saat di tahap universitas. Hiks. 
2. Sistem ini juga berlaku dengan Swedish Institute Study Scholarship (Swedia). Bedanya, selain membayar uang daftar unversitas sebesar 100 euro (hanya untuk non-EU), kita juga harus mengirimkan semua dokumen via pos (sekitar Rp500.000). Setelah diterima di universitas, baru dapat aplikasi beasiswa (via online). saya diterima di Jonkoping University, tapi tidak dapat beasiswa. 
3. Chevening (Inggris) meminta kita untuk memilih tiga universitas lalu mendaftar berbarengan (bahkan lebih dulu lebih baik) dengan aplikasi beasiswa. saya daftar di Goldsmith Uni, Glasgow Uni dan Leeds Uni. Ketiganya memberikan admission letter. Selain Chevening, saya juga aplikasi beasiswa yang diberikan oleh masing-masing universitas (Tetley & Lupton di Leeds Namun saya tidak diterima oleh semuanya haha. Untuk UK, saya juga daftar beasiswa ke Westminter Uni (Uni ini sediakan banyak beasiswa) yang mengharuskan berkas dikirim via pos (sekitar Rp500.000) juga. lagi-lagi diterima di tahap universitas, tapi gagal di beasiswa.
4. Erasmus Mundus Journalism, Media & Globalization, Quota Scheme, OFID, Tilburg Uni dan banyak lagi beasiswa yang saya daftar, namun selalu gagal di tahap pemberian beasiswa. 

Saya ingat saat makan malam di ulang tahun pernikahan kami pada 11 November 2013, sedang giat-giatnya mencari. Saya pribadi selalu berusaha mewujudkan satu hal besar/resolusi (versi saya) setiap tahun. Mulai dari belajar diving, ajak mama dan keluarga berlibur, dsb. Malam itu saya bilang ke suami kalau ada dua hal yang ingin saya wujudkan di 2014: "Sekolah dengan beasiswa penuh atau kita berdua, keliling Indonesia". Saya juga bagi mimpi ini dengan mama dan dia 100% mendukung, "Mama akan terus doakan kamu tiap malam," ujarnya. 

Tantangan jelas ada, seperti tes IELTS pukul 8 pagi padahal suami saat itu sedang dirawat di RS. Kepala sudah tidak fokus, tapi saya sudah niat. Berangkatlah saya diantar kakak dan pulang tes, kembali menemani suami di RS. Entah sudah berapa banyak malam saya habiskan tidur hingga hampir pagi untuk bikin motivation letter ditemani bergelas-gelas kopi.  

Butuh waktu sekitar 10 bulan dan banyak sekali penolakan dari pertama kali saya cari beasiswa hingga dapat kabar diterima oleh Aarhus University. Saya tidak bisa lupakan senyum suami dan mama ketika saya ceritakan kalau saya akhirnya dapat beasiswa ini. 

Resolusi pun terwujud.

No comments:

Post a Comment